Akhirnya aku bisa bertemu Adjie, sosok yang sangat kurindukan selama hampir 1 bulan kebelakang ini. Jika sebelumnya tidak terjadi insiden yang cukup dramatis, saat ini mungkin aku sudah berada di sampingnya dan bersandar di bahunya. Namun seketika itu juga aku tersadar, bahwa permasalahan kita tidak berdasarkan insiden barusan saja, namun jauh kebelakang. Insiden tadi bisa dibilang sebagai puncak dari keadaan ini. Dan sekarang, kami berdua duduk berhadapan di sebuah restoran kecil dan 2 botol minum. 15 menit berlalu, kami berdua masih belum terdiam hingga Adjie pun akhirnya memecah keheningan ini.
“Udah tenang ?” Tanya nya dengan suara berat yang sangat membuat ku merasa tenang. Tuhan aku sangat mencintai pria ini, jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi, ku mohon Tuhan.
Aku mengangguk, tidak berani berkata apapun, takut memulai pembicaraan yang berujung pada keputusan yang tidak aku inginkan. Aku memang pengecut, semua yang aku pikirkan ini bertentangan dengan hati nurani. Dalam hati padahal aku sadar bahwa kemungkinan kesana jauh lebih besar daripada bersama, namun buru – buru kutepis semua nya dengan mengatakan pada diri sendiri, bahwa aku sensitive, terlalu membesar – besarkan masalah.
“Kamu mau nanya apa ta ? “
Kalimat pembuka itu seakan membuka pintu kata kata yang ada di mulut ku selama ini, berbagai pertanyaan kuutarakan. Mulai dari pertanyaan simple yang bahkan saya bingung kenapa bisa keluar, hingga pertanyaan yang menurutku sangat perlu jawaban. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, dalam menyampaikan pertanyaan – pertanyaan ini aku nggak bisa tenang, suaraku bergetar dan bahkan aku harus menarik napas berkali kali untuk bisa menyelesaikan suatu kalimat.
Melihatku seperti ini Adji hanya bisa diam dan mendengar setiap pertanyaanku baik baik. Apakah dia mengerti atau tidak, dia menyimak atau tidak, aku tak pernah tau. Aku tak berani melihat wajahnya, apalagi memperhatikan raut mukanya, karena pada saat itu pikiran ku hanya satu, mencoba mengeluarkan apa yang ada dalam pikiranku. Aku pengen dia tau kalau aku kecewa, marah, kesal, sekaligus juga menyimpan rasa rindu yang luar biasa.
Setelah aku selesai dengan segala keluh kesahku, Adjie menarik napas panjang dan bersandar ke kursi. Dia melihat lihat HP nya yang dari tadi tidak berbunyi sama sekali. Dan akhirnya, setelah beberapa saat Adjie pun kembali menarik napas nya dan menghabiskan minuman yang ada di depannya. Mulailah dia mengambil posisi duduk serius dan menatapku.
“Aku belum bisa maju Ta”
“Maksudnya ?”
“Aku .. belum siap dengan hubungan baru, hubungan kita?”
No comments:
Post a Comment